Penggunaan Ramadhana dan Ramadhani pada Niat Puasa Ramadhan

Penggunaan Ramadhana dan Ramadhani pada Niat Puasa RamadhanPenggunaan Ramadhana dan Ramadhani pada Niat Puasa Ramadhan

Setiap Muslim yang menjalankan ibadah puasa Ramadan dianjurkan untuk berniat sebelum fajar. Namun tahukah Anda bahwa ada perbedaan dalam pelafalan niat puasa di antara berbagai mazhab? Salah satu perbedaan yang menarik yakni dalam penyebutan Ramadhāna dan Ramadhāni dalam kalimat niat. Meskipun terdengar sama, perbedaan kecil ini sebenarnya mencerminkan kaidah bahasa Arab yang mendalam serta interpretasi fiqih yang beragam.

Dalam prakteknya, umat Islam dari mazhab Syafi’i, Hanafi dan Hambali cenderung menggunakan Ramadhāna, sementara mazhab Malikiyah lebih memilih Ramadhāni. Hal ini bukan sekadar variasi linguistik, melainkan berkaitan erat dengan aturan tata bahasa Arab, khususnya dalam penggunaan idhafah (kepemilikan) dan hukum isim ghayr munsharif (kata benda yang tidak bisa menerima kasrah dalam keadaan tertentu). Oleh karena itu memahami perbedaan ini tidak hanya memperkaya wawasan kita tentang tata bahasa Arab, tapi juga memberikan apresiasi lebih dalam terhadap keragaman fiqih Islam.

Lalu bagaimana sebenarnya aturan nahwu (tata bahasa) yang menyebabkan perbedaan ini? Mengapa mazhab yang berbeda memiliki cara baca yang berlainan? Dalam coretan kali ini, saya BangRoyHan akan membahas secara rinci analisis bahasa serta alasan fiqih di balik perbedaan ini, sehingga Anda dapat memahami dan menghargai kedua versi niat puasa yang umum digunakan oleh umat Islam.

Versi Niat Puasa

Secara umum niat puasa Ramadan 2025 dapat dilafalkan dengan dua versi utama yang masing-masing digunakan oleh mazhab yang berbeda. Perbedaan ini muncul dalam penyebutan kata “Ramadhan” yang memiliki dua bentuk gramatikal berbeda, yaitu “Ramadhāna” dan “Ramadhāni.”

1. Versi Mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Hambali

نويت صوم غد عن أداء فرض شهر رمضانَ هذه السنة لله تعالى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i farḍi shahri Ramadhāna hādhihis sanati lillāhi ta‘ālā.

Kata shahri (شهرِ) berarti bulan, yang dalam struktur idhafah (kepemilikan) menyebabkan kata yang mengikutinya menjadi mudāf ilaih.

Kata Ramadhāna (رمضانَ) tetap dalam keadaan fatḥah meskipun seharusnya majrūr, karena termasuk dalam kategori isim ghayr munsharif (kata benda yang tidak bisa menerima kasrah kecuali dalam kondisi tertentu).

2. Versi Mazhab Malikiyah

نويت صوم جميع شهر رمضانِ هذه السنة فرضا لله تعالى

Nawaitu shauma jamī‘a shahri Ramadhāni hādhihis sanati fardhan lillāhi ta‘ālā.

Dalam versi ini, kata jamī‘a (جميعَ) berarti seluruh, yang berfungsi sebagai taukīd (penegasan) terhadap shahri.

Kata shahri (شهرِ) dalam posisi majrūr karena mengikuti jamī‘a.

Kata Ramadhāni (رمضانِ) mengalami perubahan harakat menjadi kasrah karena berada dalam idhafah dengan kata yang sudah majrūr, sehingga isim ghayr munsharif diperbolehkan menerima kasrah dalam kondisi ini.

Salah satu perbedaan mendasar dalam fiqih puasa yang dianut oleh mazhab Maliki adalah pendapat mereka bahwa seseorang cukup berniat puasa untuk sebulan penuh pada malam pertama Ramadan. Hal ini berbeda dengan mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Hambali yang mewajibkan niat dilakukan setiap malam sebelum berpuasa.

Dalil dan Argumentasi Mazhab Maliki

Mazhab Maliki berlandaskan pada beberapa dalil dan prinsip dalam menetapkan pendapat berikut.

Sifat Puasa sebagai Ibadah yang Bersambung

Menurut Imam Malik, puasa Ramadan adalah satu ibadah yang berkesinambungan selama satu bulan penuh, sehingga cukup dengan satu niat di awal bulan.

Ini berbeda dengan puasa sunnah atau puasa qadha yang berdiri sendiri-sendiri.

Hadis dan Atsar yang Mendukung

Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. (HR. Bukhari & Muslim)

Mazhab Maliki memahami bahwa niat puasa Ramadan di awal bulan sudah mencakup seluruh hari-harinya karena Ramadan dianggap sebagai satu kesatuan ibadah.

Kemudahan bagi Umat Islam

Menurut Imam Malik, mewajibkan niat setiap malam bisa menjadi kesulitan bagi sebagian orang, sehingga diperbolehkan berniat sebulan penuh sekaligus.

Cara Mengamalkan Niat Sebulan Penuh

Seorang Muslim yang mengikuti mazhab Maliki cukup mengucapkan niat di malam pertama Ramadan dengan lafaz seperti:

نويت صوم جميع شهر رمضانِ هذه السنة فرضا لله تعالى

Nawaitu shauma jamī‘a shahri Ramadhāna hādhihis sanati fardhan lillāhi ta‘ālā.

Artinya: Aku berniat untuk berpuasa sepanjang bulan Ramadan tahun ini sebagai kewajiban karena Allah Ta’ala.

Jika Anda lupa atau ragu, mazhab Maliki tetap membolehkan memperbarui niatnya kapan saja selama Ramadan tanpa perlu mengulang niat setiap malam.

Kenapa Ramadhāna?

Dalam versi pertama, frasa shahri Ramadhāna terdiri dari:

  • Shahri (شهرِ) = Bulan (dalam bentuk majrūr karena berada dalam idhafah).
  • Ramadhāna (رمضانَ) = Ramadan, dalam bentuk idhafah (kepemilikan).

Ramadhān adalah isim ghayr munsharif (اسم غير منصرف) yaitu kata benda yang tidak menerima kasrah dalam keadaan majrūr. Isim ghayr munsharif memiliki aturan khusus dalam tata bahasa Arab, yaitu tidak dapat menerima harakat kasrah dan tanwīn kecuali dalam kondisi tertentu. Oleh karena itu meskipun seharusnya dalam keadaan majrūr (karena menjadi mudāf ilaih dalam idhafah dengan shahri), kata Ramadhān tetap memakai harakat fatḥah (Ramadhāna) sebagai bentuk pengecualian.

Dalam kaidah nahwu, isim ghayr munsharif hanya bisa menerima kasrah dalam dua kondisi:

  • Jika didahului oleh alif-lām (kata sandang al-).
  • Jika dalam keadaan mudāf (kepemilikan) kepada kata benda lain yang bukan ghayr munsharif.

Namun, dalam frasa shahri Ramadhāna, kata Ramadhān tidak memenuhi kedua syarat tersebut karena kata shahri sendiri juga merupakan kata dalam idhafah dan tidak termasuk dalam kategori yang bisa menyebabkan perubahan hukum ghayr munsharif. Oleh karena itu penggunaan Ramadhāna tetap mengikuti kaidah asalnya yakni menggunakan fatḥah.

Kenapa Ramadhāni?

Untuk versi kedua, frasa jamī‘a shahri Ramadhāni terdiri dari:

  • Jamī‘a (جميعَ) = Seluruh (dalam bentuk manshūb karena objek).
  • Shahri (شهرِ) = Bulan (dalam bentuk majrūr karena idhafah ke jamī‘a).
  • Ramadhāni (رمضانِ) = Ramadan (dalam bentuk majrūr karena mengikuti shahri).

Dalam kasus ini ramadhān menerima kasrah karena berada dalam idhafah dengan kata benda yang sudah majrūr. Secara umum, isim ghayr munsharif tidak menerima kasrah, tapi dalam struktur idhafah tertentu, kata ghayr munsharif diperbolehkan menerima harakat kasrah jika berada dalam keadaan idhafah kepada kata yang sudah majrūr. Karena shahri itu kata yang sudah majrūr maka Ramadhān mengikuti dan berubah menjadi Ramadhāni.

Hal ini terjadi karena adanya kaidah pengecualian dalam ilmu nahwu yang menyatakan bahwa isim ghayr munsharif dapat menerima kasrah jika menjadi mudāf ilaih dari kata yang sudah majrūr. Dalam rangkaian tersebut ramadan mendapat status sebagai mudāf ilaih dari shahri, yang dalam konteks ini sudah mengalami kemajruan karena adanya hubungan dengan jamī‘a.

Kesimpulan

  1. Mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Hambali menggunakan Ramadhāna karena mengikuti aturan ghayr munsharif, yang tetap berharakat fatḥah meskipun dalam keadaan majrūr.
  2. Mazhab Malikiyah menggunakan Ramadhāni karena berada dalam idhafah dengan kata yang sudah majrūr, sehingga diperbolehkan menerima kasrah.
  3. Kedua versi ini benar dan sah digunakan sesuai dengan tata bahasa Arab dan pemahaman fiqih masing-masing mazhab.

Semoga artikel ini bisa sedikit membantu memahami tentang tata bahasa Arab dalam konteks ibadah dibulan suci romadlon. Dengan memahami perbedaan ini maka kita dapat lebih menghargai kekayaan ilmu nahwu dan fiqih Islam!

Komentar