Banyak orang yang menganggap bahwa ketika dirinya bisa menggunakan teknologi yang sedang nge-Trend maka itu pasti hal baik, padahal tidak semuanya baik. Kenapa saya menulis coretan berjudul Mencela Orang Lain Adalah Sebagian Dari Iman, baca selengkapnya.
Masyarakat indonesia di era digital ini menganggap jika bisa menggunakan teknologi maka itu pasti berdampak baik, sebut saja media sosial seperti Facebook, Twitter, Whatsapp, Instagram, dan masih banyak lagi.
Para orang tua dengan mudahnya memberikan gadget (smartphone) kepada anaknya yang belum cukup umur. Nah belum cukup umur ini menurut saya, minimal 18 tahun.
Kenapa? Karena 18 tahun dianggap sudah mengerti mana yang baik dan mana yang buruk.
Tapi sayang seribu sayang, semua hancur sebelum menjadi telur.
Anak-anak kecil diberikan handphone canggih tanpa pengawasan, mereka orang tua mengatakan “saya sudah mengawasi”. Tapi maaf, yang mengawasi saja GOBLOK teknologi kok.
Akibatnya anak akan leluasa mengakses hal yang belum pantas dia konsumsi, mulai kekerasan, pornografi, dll.
Anak itu jangan dibatasi, tapi dibimbing biar bisa memilih jalan yang baik. Lha orang tuanya saja tidak tau mana jalan mana sungai, ya nyemplung satu nyemplung semua.
PARAH.!!!
Akhir-akhir ini diperparah lagi dengan banyaknya masyarakat awam yang tiba-tiba menggunakan media sosial, kemudian kami-islam-an.
Mengatasnamakan agama islam tapi menggunakan bahasa kotor, mencaci maki orang lain, mencela kelompok lain dengan hebat di media sosial.
Kalo ada yang mengatakan, “Ah bangroy, jangan bohong. Mana buktinya?”
Buktinya lha wong banyak orang yang saya kenal secara nyata, mereka itu bukan orang IT. Jangankan orang IT, paham IT saja baru kemarin.
Mereka tiba-tiba berubah menjadi superhero penyelamat agama islam dengan menggunakan peci putih dan sorban, memaki-maki orang lain di Facebook dan WA.
Mereka menggunakan bahasa IT dan seolah mereka faham seluk beluk dunia IT, kemudian menggunakannya untuk memaki orang dengan leluasa.
Ah, memang jualan yang paling laris manis adalah jualan dengan merek agama.
Mie instan tidak ada label halal saja di protes, bahkan dikatakan haram dan mengandung minyak babi.
Eeeee lha kalo minum es kelapa muda di warung mbok dasiyem, cuma berwadah plastik dan sedotan. Tidak ada label halal, tapi kenapa tidak dikatakan haram?
Ini cuma kiasan loh, bukan berarti saya menyamakan antara mie instan dengan es kelapa muda.
OK balik lagi, teman saya yang tiba-tiba menjadi superhero itu mengatakan “Ayo kita jihad di media sosial”.
Iya mas bro mbak bro, itu sangat bagus sekali. Tapi kalo jihadnya ngafir-ngafirke wong islam, teriak hancurkan kemunafikan, dll.
Apa ente beranggapan islamnya ente dan islamnya saya itu beda? Wong kita sama-sama qunut kok.
Apa ente beranggapan islamnya ente itu lebih baik dari orang lain? Lha tapi moco qur’an saja masih dapet pahala 2, pahala Glotak dan pahala Glatuk. Alias glotak-glatuk.
OK lah kalo ada yang beranggapan bahwa Mencela Orang Lain Adalah Sebagian Dari Iman, tapi mbok ya tulung lah. Anda mencela orang lain harus menang, kalau saya berpikiran sama seperti itu. Terus apa yang akan didapat, surga?
Kalau ibadah yang sama saja di kafirkan, Haruskah saya membuat proposal untuk masuk surga?
Komentar