Walisongo dengan ajaran Aswaja yang dibawa oleh mereka, berhasil mendialogkan ajaran Islam yang berasal dari Arab dengan tradisi masyarakat Nusantara. Jelasnya, tidak merubah tradisi masyarakat yang sudah ada dan berlangsung, tetapi mewarnai sehingga melahirkan tradisi baru keislaman masyarakat nusantara.
Maka tak salah jika Clifford Gertz menyebut Walisongo itu bukan hanya sekedar dai yang menyebarkan ajaran Islam, tetapi juga sebagai cultural broker, makelar kebudayaan.
Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari merumuskan Aswaja sebagai: “dalam bidang akidah mengikuti Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam fiqh mengikuti mazhab empat, dan dalam tasawuf mengikuti Al-Ghazali dan Al-Junaid Al-Baghdadi“.
Masa itu, munculnya gerakan puritan Wahabi pada awal abad 18 dengan slogan kembali kepada Al-Quran dan sunnah meniscayakan penolakan terhadap pengikut-pengikut mazhab empat yang mayoritas di dunia Islam. Gerakan ini menyebar ke seluruh dunia Islam, termasuk Indonesia. Maka, Hadratussyeikh menegaskan kembali tentang pengertian Aswaja, untuk membentengi umat Islam Nusantara dari pengaruh gerakan Wahabi.
Awalnya di Indonesia hanya sebagai gerakan agama, perlahan gerakan Wahabi dengan ideologi puritannya memasuki politik Indonesia. Muncullah gerakan-gerakan yang ingin mengganti Pancasila (yang juga dirumuskan oleh para ulama) sebagai ideologi negara dengan negara Islam (seperti gerakan DI/TII).
Pada pihak yang berlawanan, kelompok nasionalis berusaha mewujudkan negara sekuler. Selain itu, ada lagi pihak ketiga, yaitu PKI yang ingin merubah bentuk negara dengan ideologi komunis, namun bersembunyi dibalik Bung Karno. Bangsa yang masih muda ini diambang perpecahan dan perang saudara karena pertentangan ideologi politik yang kian memanas.
Maka, KH. Wahab Hasbullah sebagai Rais Am PBNU pada waktu itu, merumuskan Garis Politik Kebangsaan. Politik Kebangsaan adalah politik yang tidak memisahkan antara nasionalisme dan agama. Keduanya selaras, bahkan saling menguatkan. Garis politik kebangsaan yang dirumuskan oleh Mbah Wahab berangkat dari nilai tawazun atau keseimbangan dalam ajaran Aswaja.
Kosep tawazun dalam politik dan sosial diperkuat kembali oleh KH. Ahmad Siddiq dengan gagasan tri ukhuwah-nya yang terkenal, yakni ukhuwah islamiah (persaudaraan) sesama umat islam, ukhuwah wathoniah (persaudaraan sebangsa dan setanah air), dan ukhuwah basyariah (persaudaraan sesama manusia). Konsep tri ukhuwah ini menjadi landasan NU dalam konteks berbangsa dan bernegara. Konsep ini adalah upaya NU dalam menjaga keutuhan NKRI.
Pada periode berikutnya konsep Aswaja NU senantiasa berkembang. Pada tahun 90-an KH. Sahal Mahfuzh menelorkan gagasan fiqh sosial dan fiqh maslahat. Fiqh sosial maksudnya adalah studi tentang fiqh (hukum islam) tidak hanya berkutat pada persoalan-persoalan normatif keagamaan, tetapi lebih jauh melangkah pada persoalan-persoalan sosial dan pemecahannya.
Metode fiqh sosial berangkat dari konsep maqashid asy-syariah, yakni, filosofi penggalian hukum islam yang senantiasa berpijak pada kemaslahtan umat manusia, yakni upaya menjaga agama, jiwa, akal, kelangsungan hidup, dan harta benda.
Berdasarkan ini, maka mau tidak mau metodologi pengambilan hukum Islam dalam tubuh NU, yang selama ini mengambil pendapat ulama-ulama di kitab kuning, harus beralih menggunakan metodologi manhaji. Selain itu, juga tidak lagi hanya berpijak pada mazhab syafi’i an sich. Teori maslahat dalam dalam ilmu ushul fiqh, adalah kemaslahatan di satu tempat boleh jadi berbeda di tempat lain.
Di tangan KH. Sahal Mahfuzh, Aswaja dalam bidang fiqh telah berkembang dari yang awalnya hanya mengikuti dan menyesuaikan realitas sosial dengan pendapat-pendapat para ulama dalam kitab kuning.
Sebelum KH. Sahal Mahfuzh mengeluarkan gagasan fiqh sosial, Gus Dur menerjemahkan metode dakwah walisongo ke dalam gagasan pribumisasi Islam dan multikulturalisme. Gagasan pribumisasi Islam pada dasarnya ialah persenyawaan antara ajaran Islam dengan kultur masyarakat nusantara, namun tanpa merubah prinsip-prinsip dasar agama Islam.
Dalam bahasa Gus Dur, “Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Bukan untuk aku jadi ana, sampeyan jadi antum, sedelur jadi akh. Kita pertahankan milik kita, kita harus filtrasi budayanya, tapi bukan ajarannya…” Dalam bahasa KH. Said Aqil Siradj, menjadikan Islam bukan sebgai aspirasi, tetapi menjadi inspirasi untuk membangun peradaban.
Gagasan Gus Dur ini disambut oleh anak-anak muda NU dengan penuh gairah. Di masanya, Gus Dur melihat upaya arabisasi Islam Indonesia sangat kental, hingga menyebabkan sebagian kalangan Islam hilang kebanggaannya dengan kebudayaan sendiri.
Namun perlu diingat, gagasan pribumisasi Islam Gus Dur bukanlah menolak Arab, tetapi mengajarkan umat Islam untuk kritis dengan memisahkan mana ajaran Islam dan mana budaya Arab tempat lahirnya agama Islam yang mempengaruhi perkembangan agama ini. Dalam bahasa kaidah fiqh sering diungkapkan dengan “al-‘adah muhakkamah“, tradisi bisa menjadi landasan hukum.
Dalam pandangan Gus Dur pula, agama merupakan ajaran yang memanusiakan manusia, bukan ajaran yang merendahkan martabat manusia. Jadi, seorang muslim adalah seorang yang menghormati sesama manusia, bukan justru melakukan kekerasan atas nama agama.
Sekembalinya KH. Said Aqil Siradj (ketum PBNU saat ini) dari studinya di Mekkah, ia langsung memaknai Aswaja sebagai manhajul fikrah (metodologi berpikir). Aswaja di tangan Kang Said, bukan lagi hanya sebuah pemahaman kegamaan, tetapi pandangan hidup seserang dalam menyikapi berbagai macam persoalan: sosial, politik, ekonomi, kebangsaan yang bertumpu pada metode tawasuth, tawazun, tasamuh.
Dan pada masa Kang Said pula ajaran berkembang menjadi Islam Nusantara. Islam Nusantra bukanlah aliran baru, bukan ajaran baru, tetapi sebuah metode memahami agama dalam interaksinya dengan kebudayaan Nusantara. Konsep Islam Nusantara merupakan ajaran Aswaja yang dibawa oleh walisongo kemudian terus dikembangkan oleh ulama-ulama NU di atas hingga mewujud dalam bentuknya saat ini.
Oleh: Muhammad Imaduddin (Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU)
Komentar